Al Arif merupakan Guru Besar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekjen DPP Asosiasi Dosen Indonesia, Ketua IV DPW Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Jakarta, Associate CSED INDEF, serta saat ini sebagai Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Ketahanan Pangan
Penempatan Dana Rp200 triliun, Stimulus 8+4+5 dan Pertumbuhan Ekonomi
11 jam lalu
***
Pertengahan 2025 menjadi salah satu momen penting dalam sejarah kebijakan ekonomi Indonesia. Pemerintah secara resmi mengumumkan dua langkah besar yang diharapkan mampu menjaga stabilitas dan akselerasi pertumbuhan nasional, yaitu penempatan dana sebesar Rp200 triliun ke bank-bank nasional dan peluncuran paket stimulus ekonomi “8+4+5” senilai Rp16,23 triliun.
Kedua kebijakan ini tidak muncul dalam ruang hampa. Ia lahir dari situasi kompleks: tekanan perlambatan ekonomi global, ketidakpastian geopolitik, ancaman inflasi, serta kebutuhan domestik untuk memperluas lapangan kerja dan menjaga daya beli masyarakat. Tulisan ini akan mengulas secara populer namun mendalam tentang dua kebijakan tersebut.
Bahasan awal kita akan mulai dengan mengupas mengapa kebijakan ini diluncurkan. Alasan pertama ialah karena tekanan ekonomi global. Perekonomian dunia sepanjang 2025 tidak berjalan mulus. Pertumbuhan Tiongkok melambat, Eropa masih dibayangi resesi, dan suku bunga Amerika Serikat baru mulai turun setelah periode pengetatan yang panjang.
Kondisi ini membuat aliran modal ke negara berkembang, termasuk Indonesia, berfluktuasi. Rupiah sempat tertekan, pasar saham bergerak volatil, dan banyak sektor industri merasakan dampak pelemahan permintaan global.
Alasan kedua ialah disebabkan oleh target pertumbuhan nasional. Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi di atas 5,3% untuk tahun 2025. Target ini cukup ambisius mengingat tekanan global dan kebutuhan domestik yang terus meningkat. Untuk mencapainya, tidak cukup hanya mengandalkan ekspor. Permintaan domestik harus diperkuat, investasi harus dipacu, dan lapangan kerja harus diperluas.
Alasan berikutnya ialah kebutuhan likuiditas perbankan. Perbankan nasional adalah tulang punggung pembiayaan ekonomi. Kredit perbankan tumbuh sekitar 9–10% pada semester I 2025, tetapi kebutuhan pembiayaan jauh lebih besar. Sektor UMKM, pertanian, perikanan, hingga manufaktur padat karya masih membutuhkan akses modal yang lebih luas.
Namun, bank juga menghadapi risiko jika terlalu agresif menyalurkan kredit tanpa dukungan likuiditas tambahan. Karena itu, pemerintah memutuskan menempatkan Rp200 triliun di perbankan agar bank memiliki bantalan kuat untuk mendorong penyaluran kredit produktif.
Alasan terakhir ialah perlindungan daya beli dan lapangan kerja. Selain kebijakan perbankan, pemerintah juga sadar bahwa pertumbuhan hanya bermakna jika dirasakan masyarakat. Karena itu, paket stimulus “8+4+5” diluncurkan dengan fokus pada penciptaan lapangan kerja, dukungan UMKM, bantuan sosial, dan program padat karya.
Kebijakan penempatan dana Rp200 triliun ke bank bukan hal baru dalam sejarah ekonomi Indonesia. Pada masa pandemi COVID-19, pemerintah pernah melakukan langkah serupa dalam bentuk penempatan dana di bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) untuk mendukung program pemulihan ekonomi.
Namun, kali ini konteksnya berbeda, apabila dulu fokusnya menahan krisis, kini tujuannya mengakselerasi pertumbuhan. Selain itu, jika dulu penyaluran lebih banyak diarahkan pada restrukturisasi kredit, kini diarahkan untuk mendorong kredit baru di sektor produktif.
Terdapat beberapa pertimbangan ekonomi yang melandasi pengalihan dana sebesar Rp 200 triliun dari Bank Indonesia ke Bank nasional. Pertama, kebijakan ini untuk menambah likuiditas bank. Dengan adanya dana pemerintah di bank, likuiditas meningkat. Bank tidak perlu terlalu khawatir terhadap mismatch pendanaan.
Pertimbangan berikutnya ialah untuk mendorong penyaluran kredit. Likuiditas yang longgar memungkinkan bank menyalurkan kredit dengan bunga lebih rendah, terutama ke UMKM, sektor pertanian, industri padat karya, dan proyek infrastruktur strategis.
Pertimbangan ketiga ialah estimasi efek pengganda terhadap perekonomian. Diperkirakan setiap Rp1 triliun kredit produktif yang digelontorkan berpotensi menimbulkan efek pengganda 1,5–2 kali lipat terhadap PDB, melalui penciptaan lapangan kerja, peningkatan produksi, dan konsumsi masyarakat.
Pertimbangan terakhir ialah untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Dana pemerintah di bank juga menjadi bantalan psikologis bagi pasar keuangan. Investor lebih percaya diri karena tahu pemerintah hadir menjaga stabilitas sektor perbankan.
Potensi Dampak dari kebijakan ini diharapkan bagi UMKM akan lebih mudah mendapat kredit modal kerja dengan bunga lebih rendah. Kemudian bagi masyarakat luas, kebijakan ini diharapkan akan mampu meningkatkan produksi berarti harga lebih stabil dan lapangan kerja terbuka. Terakhir bagi pemerintah apabila perekonomian bergerak, maka penerimaan pajak akan dapat bertambah.
Bersamaan dengan kebijakan dana Rp200 triliun ke bank, pemerintah juga merilis 17 program stimulus ekonomi dengan struktur “8+4+5”. Apabila kebijakan penempatan dana sebesar Rp 200 triliun ini berupaya untuk mendorong sisi penawaran, maka stimulus ekonomi yang diumumkan pada 15 September bertujuan untuk mendorong sisi permintaan. Keseimbangan sisi penawaran dan permintaan untuk memastikan keberhasilan stimulus ekonomi ini terhadap perekonomian.
17 stimulus ekonomi yang diluncurkan oleh pemerintah nilainya mencapai Rp16,23 triliun. Tujuan dan sasaran utama dari stimulus ekonomi tersebut ialah menjaga daya beli, memperkuat sektor riil, dan menyerap tenaga kerja.
Stimulus ekonomi pertama ialah mencakup delapan program akselerasi. Delapan program akselerasi tersebut ialah dimulai dari Program magang lulusan perguruan tinggi (maksimal fresh graduate 1 tahun). Program kedua ialah Perluasan PPh 21 DTP untuk pekerja di sektor terkait pariwisata. Program ketiga berupa bantuan pangan periode Oktober-November 2025. Keempat ialah bantuan iuran jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM) bagi bukan penerima upah (BPU) transportasi online/ojol (termasuk ojek pangkalan, sopir, kurir, dan logistik) selama 6 bulan.
Kelima, program manfaat layanan tambahan (MLT) perumahan BPJS Ketenagakerjaan. Keenam, program padat karya tunai (cash for work) Kemenhub dan Kementerian Pekerjaan Umum. Ketujuh, percepatan deregulasi PP28 (Integrasi Sistem K/L dan RD TR Digital ke OSS). Delapan, program perkotaan dengan Pilot Project provinsi DKI Jakarta dalam bentuk peningkatan kualitas pemukiman dan penyediaan tempat untuk Gig Economy.
Stimulus ekonomi kedua ialah empat program dilanjutkan di program 2026. Pertama, perpanjangan PPh final 0,5% untuk UMKM. Program ini akan memberikan kepastian bagi jutaan pelaku UMKM agar beban pajak tetap ringan. Kedua ialah perpanjangan PPh 21 DTP sektor pariwisata.
Menjaga daya saing sektor pariwisata yang padat karya.
Ketiga, ialah perpanjangan PPh 21 DTP untuk industri padat karya. Kebijakan ini akan memberikan ruang bagi industri untuk mempertahankan pekerja. Keempat ialah diskon iuran JKK dan JKM untuk seluruh BPU, dimana tidak hanya ojol, tetapi semua pekerja bukan penerima upah.
Stimulus ekonomi ketiga ialah berupa lima program penyerapan tenaga kerja. Pertama, operasional koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih diharapkan menyerap tenaga kerja di atas 1 juta tenaga kerja pada Desember. Kedua, Kampung Nelayan Merah Putih ditargetkan jangka panjang menciptakan 200.000 lapangan kerja.
Ketiga, revitalisasi tambak pantura seluas 20.000 hektar diharapkan menyerap 168.000 tenaga kerja. Keempat, modernisasi 1.000 Kapal Nelayan diharapkan menciptakan 200.000 lapangan kerja. Kelima, Perkebunan Rakyat dengan penanaman kembali 870.000 hektar oleh Kementerian Pertanian yang diharapkan membuka 1,6 juta lapangan kerja dalam 2 tahun.
Terdapat beberapa dampak yang dapat dirasakan dari stimulus ekonomi, baik jangka pendek, menengah maupun panjang. Dampak jangka pendek yang diharapkan akan muncul dari stimulus ekonomi ini ialah likuiditas perbankan meningkat, kredit lebih mudah diakses. Kemudian daya beli masyarakat terjaga melalui bansos, subsidi, dan insentif pajak. Serta lapangan kerja baru tercipta melalui padat karya, magang, penanaman kembali perkebunan rakyat (replanting), dan program perikanan.
Sedangkan jangka menengah program ini diharapkan mampu memberikan dampak ke perekonomian. Dampak pertama ialah UMKM lebih kuat berkat insentif pajak ringan dan akses permodalan. Kedua, sektor informal lebih terlindungi dengan diskon iuran BPJS Ketenagakerjaan. Ketiga, industri padat karya bisa bertahan tanpa harus melakukan PHK massal.
Dalam jangka panjang, program ini diharapkan mampu memiliki dampak terhadap perekonomian. Pertama, program ini diharapkan akan terjadi transformasi ekonomi desa dan pesisir. Kedua, program ini diharapkan akan meningkatkan kualitas tenaga kerja muda melalui program magang.
Terakhir ialah akan terjadi reformasi birokrasi melalui deregulasi PP 28/2025. Deregulasi melalui PP 28/2025 adalah sebuah kebijakan yang mereformasi sistem perizinan berusaha berbasis risiko di Indonesia, menggantikan PP 5/2021, untuk menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif, mempercepat perizinan usaha, dan memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha.
Meskipun program dan stimulus ekonomi dapat memberikan dampak bagi perekonomian, namun tentu tetap ada tantangan dalam implementasinya. Tantangan pertama ialah risiko moral hazard bank.
Dana Rp200 triliun bisa saja tidak disalurkan ke sektor produktif, melainkan ke instrumen aman seperti obligasi.
Tantangan kedua ialah efektivitas program stimulus. Pengalaman menunjukkan, realisasi stimulus sering lambat karena birokrasi. Tantangan ketiga ialah aspek pengawasan dalam distribusi bansos.
Harus dipastikan tepat sasaran agar benar-benar membantu kelompok rentan. Tantangan keempat ialah aspek beban fiskal yang harus dijaga. Meski nilai stimulus Rp16,23 triliun relatif kecil, tetap harus dijaga agar defisit APBN tidak melebar.
Kebijakan penempatan Rp200 triliun ke bank dan stimulus ekonomi 8+4+5 yang diluncurkan 15 September 2025 adalah strategi besar pemerintah dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Langkah ini menunjukkan keseimbangan antara dukungan jangka pendek (menjaga daya beli dan lapangan kerja) dan transformasi jangka panjang (deregulasi, penguatan UMKM, modernisasi sektor perikanan dan perkebunan).
Kunci keberhasilan terletak pada implementasi. Jika dijalankan dengan disiplin, transparansi, dan fokus pada sasaran, kebijakan ini dapat menjadi pondasi kokoh bagi Indonesia untuk melangkah menuju visi besar Indonesia Emas 2045.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Sekjen DPP Asosiasi Dosen Indonesia, Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Ketahan Pangan, Ketua IV DPW IAEI Jakarta, dan Associate CSED INDEF
2 Pengikut

Menanti Kemerdekaan Ekonomi Sejati
Selasa, 19 Agustus 2025 15:14 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler